A. Definisi H{adi>th S{ah}i>h}
Kata s}ah}i>h} berasal dari bahasa Arab al-S{ah}i>h}
bentul pluralnya al-ash}ihha dan berakar kata pada shah}ha. Dari
segi bahasa, kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya: (1) selamat dari penyakit,
(2)bebas dari aib/cacat.[1]
Sedang pengertian h}adi>th adalah khabar (berita). Dari segi istilah
para Ulama berpendapat bahwa:
Menurut Ibn al-Salah,
yaitu:[2]
اْلحَدِ يْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ الْمُسْنَدُ
الَّذِى يَتَّصِلُ اِسْنَا دُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ اِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا
يَكُوْنُ شَا دًا, وَ لَا مُعَلَّلًا.
“al-H{adi>th S{ahih adalah musnad yang
sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang ‘adil lagi dabit sampai perawi
akhir, tidak shadh (Janggal), dan ‘ilal (cacat)”.
Menurut al-Nawawi
hadith shahih adalah:[3]
اْلحَدِ
يْثُ الصَّحِيْحُ هُوَ مَااتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعَدْلِ الضَّابِطُوْنَ مِنْ غَيْرِ
شُدُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
“al-H{adi>th
S{ahih adalah hadith yang muttasil (sambung) sanad-nya melalui periwayat
orang-orang yang ‘adil lagi dabit, tidak shudhudh (janggal) dan juga tidak
‘illat (cacat)”.
Definisi yang
lain dinyatakan oleh Al Suyuthi:[4]
اْلحَدِ يْثُ ما اتّصل سنده با لعدل الضّابطين
من غير شدوذ ولاعلة
“al-H{adi>th
yang bersambung sanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil lagi d}a>bit,
tidak shadh, dan tidak ber’illat”
Definisi diatas yang dikemukakan dalam kata-kata ringkas
menjadi: H{adi>th sahih adalah hadith yang sanadnya bersambung sampai Nabi
dan diriwayatkan oleh orang-orang yang ‘adil dan dhabith serta
tidak terdapat dalam hadith itu kejanggalan (shadh) dan cacat (‘illat).
B.
Syarat-syarat
H{adi>th S{ah}i>h}
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami
bahwa al-h{adi>th s{ah}i>h} itu memenuhi 5 (lima) syarat sebagai
berikut:
1.
Muttasil
(Bersambung) Sanadnya
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah
tiap-tiap periwayat dalam sanad hadith menerima riwayat hadith dari periwayat
terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari
hadith itu.[5]
Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang
disandari oleh mukharij (penghimpun hadith dalam karya tulisnya) sampai kepada
periwayat tingkat para sahabat yang menerima hadith yang bersangkutan dari Nabi
bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambung suatu
sanad, biasanya ulama hadith menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat
semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat.
c.
Meneliti
kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang terdekat
dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa h{addathana, h{addathana, akhbarana,
‘an, ‘anna,
atau kata-kata lainnya.[6]
Jadi, suatu sanad hadith dapat dikatakan bersambung
apabila:[7]
1)
Seluruh
periwayat dalam sanad itu benar-benar thiqat (adil dan zabit);
dan
2)
Antara
masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadith secara sah menurut
ketentuan tah{ammul
wa al-ada’ al-h{adi>th (transformasi
penyampaian dan penerimaan hadis).
Dengan demikian kriteria pertama dari h{adi>th
s{ahih adalah sanadnya bersambung. Maksudnya, ialah sanad hadith itu bersambung
sampai akhir atau disebut musnad. Hadith shahih ini dalam sifatnya juga bisa
disebut sebagai hadis yang muttas}il atau maus}ul(yang
bersambung).
2.
Perawi
yang ‘adil (al-‘adalat)
Kata adil memiliki lebih dari satu arti, baik dari
segi bahasa maupun istilah. Kata adil berasal dari bahasa arab yakni al-‘adl.
Kata al-‘adl sendiri merupakan masdar dari kata kerja ‘ada>lah.
Menurut bahasa, kata al-‘adl mempunyai banyak arti antara lain: keadilan
(al-‘adalat atau al’udulat); pertengahan (al-i’tidal);
lurus(al-istiqamat); condong kepada kebenaran (al-mayl ila al-h}aqq).
Orang yang bersifat adil tersebut al’adil, kata jamaknya yakni al-‘udul.[8]
Secara istilah adil jamaknya al-‘adalat-al-‘udul
ialah sifat yang melekat pada jiwa seseorang perawi dan dapat menjadikan
dirinya konsisten dalam menjalankan agama,serta mampu memelihara ketaqwaan dan muru’ah.
Prinsip ini dirumuskan dari unsur-unsur yang harus dimiliki oleh seorang perawi
harus dikonotasikan kepada seorang muslim yang sudah baligh, dan berakal sehat,
serta bebas dari fasiq dan moral yang rendah. Mereka menolak periwayatan hadith
yang disampaikan oleh orang kafir,anak kecil sebelum dewasa dan cakap, orang
yang mengalami gangguan psikosomatis maupun neorosa, juga ditolak periwayatan
dari orang yang tidak memiliki kehormatan atau moral yang baik.[9]
Namun dapat di deskripsikan beberapa rumusan
tentang ke’adilan yang dinyatakan beberapa tokoh sesudah abad kedua hijriyah.[10]
a.
Muhammad Ibn Ubaydillah al-Maliki menceritakan bahwa al-Qadi Abu Bakar
Muhammad bin Tayyib mengatakan; al-‘Ada>lah (keadilan) yang dimaksud
baik dalam persaksian maupun periwayatan ialah dikonotasikan pada konsistensi
beragama(lurus agamanya), terlepas dari fanatisme aliran, terhindar dari
kefasiqan atau perbuatan yang sama baik dari perilaku maupun hati.
b.
Keadilan yang berkembang di kalangan ulama hadith, sejak awal abad ketiga
hijriyah sampai sekarang. al-‘Ada>lah (keadilan) ialah suatu sikap
pengendalian diri dari perbuatan dosa besar maupun kecil. Yang lebih rinci lagi
dinyatakan: bahwa orang-orang yang selalu taat pada agama dan mampu memelihara
etikanya, maka dapat diterima periwayatan dan kesaksiannya. Namun bila selalu
dalam kemaksiatan dan beretika rendah, maka ditolak semua periwayatannya.
c.
Dari kalangan Fuqaha’ dikemukakan bahwa al-‘Ada>lah (keadilan)
baik dalam periwayatan maupun persaksian yaitu ungkapan yang dimaksud untuk
mengetahui keberadaan keagamaan seorang secara konsisten, dan implikasinya
dalam sikap, prilaku maupun jiwa dan ketaqwaan.
d.
Ibn Taymiyah dalam suatu pendapatnya mengatakan bahwa al-‘Ada>lah
adalah sikap dan sifat yang dimiliki seseorang yang dapat memelihara
kemaslahatan-kemaslahatan dan hukum-hukum.
e.
Rumusan yang dikemukakan ulama ushul. Dimaksud dengan ‘Adil adalah
ungkapan yang menunjukkan titik tengah antara beberapa hal, tanpa lebih atau
kurang terhadap salah satu hal.
Dengan demikian seluruh periwayat dalam hadith
shahih bersifat ‘adil. Yang dimaksud ‘adil diatas adalah
periwayat yang memenuhi syarat-syarat berikut: (1) beragama Islam, (2)
mukallaf, (3) melaksanakan ketentuan agama, dan (4) memelihara muru>’ah
(memelihara kehormatan dirinya).
3.
Perawi
yang Dabit (al-Dabtu)
Untuk menyatakan kapabilitas seorang perawi dalam
bentuk terminologi hadith diidentifikasi dengan istilah al-dawa>bit,
secara etimologi dapat diartikan penguasaan dengan mantap, si pelakunya disebut
dengan orang-orang kokoh dalam berusaha.[11]
Sedang dalam terminologi diantaranya adalah:
[12]
a.
Ahli hadith berarti kecerdikan seorang perawi menerima hadith dan
memeliharanya,sehingga waktu menyampaikan ulang tanpa adanya kesalahan atau
kerancuhan, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
b.
Para ulama ushul fiqih menekankan seorang perawi pada kesempatan
pemeliharaan serta kemampuan hafalan, terhindarnya dari kelupaan atau kerancuan
diantara satu riwayat dengan lainnya, yang dimiliki oleh seorang perawi.
c.
Sama dengan teori yang lebih awal dikemukakan oleh al-shalafi bahwa
untuk suatu riwayat harus disampaikan oleh seorang perawi yang mampu memelihara
periwayatan hadis secara otentis, baik dalam hafalan maupun catatannya,
disamping mengetahui perubahan struktur kata dan maknanya.
d.
Imam malik dalam pendapatnya mengatakan bahwa sebuah hadith harus
diriwayatkan dari seorang laki-laki yang bertaqwa dan mampu memelihara
periwayatan, mempunyai pengetahuan dan dapat memahami, juga mengetahui bila
terdapat perubahan materi periwayatan dari hafalannya pada saat meriwayatkan
ulang. Karena itu apabila seorang rawi tidak memiliki kapabilitas demikian,
maka tidak ada arti apa yang diriwayatkan, dan tidak dapat di jadikan hujjah
periwayatannya.
Makna al-d{abi>t kemudian mengalami
pemilahan secara karakteristik, yaitu al-D{abt}u fi al-S{udu>r dan al-D{abt}u
fi al-Kita>bah. Adapun penjelasannya yakni:
1)
Ciri pada sifat yang pertama (al-D{abt}u fi al-S{udu>r) adalah
kecermatan seorang perawi menghafal hadith secara terus menerus,dan ia mampu-
mengekspos kembali untuk diriwayatkan tanpa mengalami kesulitan dan kesalahan,
sebagaimana di waktu ia menerimanya.
2)
Pada ciri yang kedua (al-D{abt>u fi al-Kita>bah) bahwa seorang
perawi memiliki kemampuan memelihara materi seorang perawi, memiliki kemampuan
memelihara materi periwayatan dalam bentuk pencatatan, sebagaimana bentuk asli,
materi yang dicatatnya tidak terdapat kesalahan maupun kerancauan, dan dapat
diriwayatkan kembali secara benar seperti di saat menerimanya.[13]
Sedangkan Abu Hanifah mengklasifikasikan antara D{abt}u
al-S{udu>r dan D{abt}u al-Ma’a>ni, yaitu:[14]
a)
Sifat yang pertama (D{abt}u al-S{udu>r) ialah seorang perawi
dapat mengetahui dan tidak lemah ingatannya.
b)
Pada sifat yang kedua (D{abt}u al-Ma’ani), bahwa perawi harus
memahami hukum-hukum atau Shari’ah yang dijelaskan dalam materi
periwayatan.
Tingkat ke-d{abit>an perawi menurut
klasifikasi para ulama hadith ada 4 (empat) macam yaitu:
1)
Al-D{abi>t}, adalah seorang
perawi yang memiliki kesempurnaan hafalan dan pemeliharaan, atau hampir sama
tidak terdapat kelemahan dalam hafalan dan catatannya.
2)
Seorang
perawi yang memiliki ke-d{abit>an sama dengan ghulatnya
(kesalahan).
3)
Seorang
perawi yang memiliki ke-d{abi>tan
lebih dari ghulatnya (kesalahan).
Dari keempat klasifikasi diatas ada yang mutlak
diterima periwayatannya, ada yang dipertimbangkan, dan juga ada yang mutlak
ditolak oleh sebagian ulama maupun jumhur ulama.
Ulama hadith merumuskan suatu batasan bahwa seorang
perawi yang mengalami banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadith adalah
ditolak periwayatannya, meskipun ia seorang yang bersifat ‘adil. Menurut
mereka seorang perawi yang banyak kekeliruan atau kerancauannya bukan termasuk
orang yang memenuhi standar sebagai perawi hadith, karena ia sangat rendah
kualitas ke-d{{abit>annya. Alasan mereka bahwa ghullatnya atau
rendahnya hafalan seorang perawi merupakan cacat yang mempengaruhi kredibilitas
maupun status seorang perawi.[16]
Bagi ulama ushul bahwa standar paling rendah dalam
penentuan kualitas ke-d{abi>tan seorang perawi adalah dia memiliki
kesamaan antara kesalahan yang terjadi dalam periwayatannya dengan sebaliknya.
Ialah perawi hadith yang pernah meriwayatkan hadith secara benar, dan juga
pernah meriwayatkan hadith dengan mengalami kesalahan atau kerancuan. Hadith
yang diriwayatkan dari perawi yang demikian itu, oleh sebagian ulama ushul
dapat diterima, sedangkan yang lain menolaknya. Sebaliknya jika hadith itu di
riwayatkan oleh perawi yang lebih banyak mengalami kesalahan atau kerancauan,
maka ditolak periwayatannya sebagaimana yang dilakukan oleh ulama hadith.
Menurut teori ulama ushul bahwa seorang perawi yang memiliki daya hafal dan
pelupanya sama, maka periwayatannya dapat menimbulkan keragu-raguan, dan
keraguan dalam suatu periwayatan tidak boleh diamalkan.[17]
Perkembangan selanjutnya yang dibangun oleh para
ulama, terutama oleh ahli hadith adalah metode komparasi, untuk menentukan
standarisasi diterima atau ditolaknya. Periwayatan hadith atas dasar ke-d{abi>tan
perawi sebagai berikut: [18]
a)
Seorang perawi yang memiliki hafalan disamping kitabah dan dapat memelihara
secara otentis sehingga ia menyampaikan kepada orang lain, maka status perawi
dan hadithnya adalah berada pada posisi yang paling atas. Hadits yang
diriwayatkan dari perawi ini merupakan h{ujjah, tidak diperlukan
komparasi dengan periwayatan dari perawi yang lebih kuat.
b)
Perawi yang memiliki hafalan disamping catatan, tetapi diketahui adanya
perbedaan diantaranya, di antara ulama hadith ber-h{ujjah berdasarkan kita>bah-nya
(catatan). Sebab catatan merupakan penguat bagi hafalan seorang perawi yang
terpelihara, seperti yang dpegangi oleh Ibn al-Mubarak, Ahmad bin Hanbal,
Abdullah bin Zubayr al Humaydi, Yahya bin Ma’in, Abdul Rahman al-Mahdi, ibn
Jurayj, Abu Dawud, dan Ibn Sinan.
Adapun argumen logikanya menurut Syuhudi Ismail
dapat dinyatakan sebagai berikut :
1.
Sulit dipercaya seorang periwayat menyampaikan riwayat hadith secara lisan
(hafalan), sedangkan dia sendiri tidak hafal tentang hadith yang
diriwayatkannya;
2.
Sulit dipercaya seorang periwayat yang menyampaikan hadith secara tertulis,
sedang dia sendiri tidak memahami apa yang termaktub dalam catatan hadithnya;
3.
Periwayat yang paham, hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadith lebih
dapat dipercaya dari pada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat
hadith tetapi tidak memahami hadith yang diriwayatkannya.[19]
Dengan demikian ke-d{abi>tan perawi yakni suatu riwayat harus disampaikan oleh
seorang perawi yang mampu memelihara periwayatan hadith secara otentis, baik
dalam hafalan maupun catatannya, disamping mengetahui perubahan struktur kata
dan maknanya.
4.
Perawi
tidak Shadh/Shudhudh (Janggal)
Kata Al Shudhudh secara etimologi merupakan
bentuk jama’ dari kata dasar shadhdha-yasudhdhu-shudhdhan, yang berarti
janggal atau ganjil. Secara terminologi kata ini hanya dipakai dalam hal
periwayatan hadith, dengan beberapa rumusan batasannya (definisi), sejalan
dengan perkembangan kajian hadith. Tetapi antara satu definisi dengan lainnya
terdapat unsur dasar yang sama, meskipun rumusan atas dasar konteks yang
berbeda: [20]
a.
Al-Shafi’i sebagai perumus pertama mengatakan bahwa yang dimaksud shadh
ialah suatu hadith yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah beda
dengan periwayatan orang banyak yang memiliki kredibilitas lebih thiqah.
b.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziah, bahwa pengertian al-shudhudh adalah
periwayatan hadith yang tidak bertentangan dengan periwayatan lain yang lebih thiqah.
Jika seorang perawi thiqah meriwayatkan secara sendirian, tidak
ditemukan riwayat lain yang dapat dikategorikan shadh.
c.
Al-Hakim al-Naisaburi berpendapat bahwa shadh
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang thiqah tetapi tidak
diriwayatkan oleh perawi thiqah
lainnya.
d.
Adapun al-Khalili al-Qazwini sebagaimana yang di sebutkan oleh al-Qasimi
memandang bahwa shadh adalah
hadis yang hanya memiliki satu sanad yang diriwaytkan baik oleh seorang perawi thiqah maupun tidak,
apabila diriwayatkan dari rawi thiqah,
maka riwayat tersebut dibiarkan (mutawaqqif)
dan apabila diriwayatkan dari seorang rawi yang tidak thiqah, maka riwayat
tersebut tertolak (mardud).
Dari beberapa pandangan ulama tentang sanad yang
mengandung shadh (kejanggalan),
maka dapat dikemukakan bahwa Imam al-Syafi’i memandang bahwa hadis syadh adalah hadis
yang apabila terkumpul di dalamnya tiga unsur kaidah:
a)
Sanad hadis tersebut lebih dari satu
b)
Periwat dalam sanad tersebut tsiqah
c)
Sanad dan atau matan hadis tersebut bertentangan
dengan riwayat dari tsiqah
yang lain.[21]
Adapun dalam pandangan al-Hakim bahwa sebuah hadis
dapat dikatakan shadh apabila
terkumpul tiga perkara yaitu:
a)
Hadis tersebut diriwaytkan oleh perawi tidak tsiqah
b)
Terjadinya pertentangan riwayat antar perawi tsiqah
c)
Hadis tidak memiliki mut}abi’ atau syahidi[22]
5.
Perawi
tidak ‘Illat (Cacat)
Secara etimologi kata ‘illat berasal dari
akar kata ‘alla-ya’illu-‘illat, dan bentuk jamak al-‘illat, artinya
penyakit ‘aib(cacat). Sedangkan secara terminologi kata ‘illat
banyak digunakan dalam beberapa disiplin, diantaranya bidang usul fiqih dan
periwayatan hadith. Dalam pembahasan usul fiqih ‘illat, oleh al-Ghazaliy
dan banyak dipegangi oleh ulama’usul. Diartikan sifat yang disandarkan oleh shari’
(Allah) pada suatu hukum, dan terkait dengan hukum itu, serta dijadikannya
sebagai tanda adanya hukum itu.[23]
Menurut Ibnu Salah secara
terminology ilmu hadis adalah sebuah hadis yang cacat disebabkan karena sesuatu
yang terselubung yang dapat merusak kwalitas kesahihan hadis seperti; wahmu
al-Rawi (kesalahan rawi karena kurangnya ke-d{abi>t-an) apakah
perawi tersebut bersifat tsiqah ataupun tidak, kesalahan ini biasa
terjadi dalam sanad ataupun matan. Dan ‘illat suatu hadis dapat
diketahui dengan melihat apabila terjadi tafarrud (kemandirian) perawi
dalam meriwayatkan suatu hadis, atau riwayat perawi bertentangan dengan riwayat
yang lain, atau karena kesalahan penyebutan nama perawi, atau terjadinya
percampuran nama perawi dalam sanad dan atau lafaz dalam matan.
[24]
C.
Klasifikasi
H{adi>th S{ahih
Para ulama hadith
membagi hadith sahih menjadi dua macam, yaitu:
1)
S{ahih li dha>tihi, yaitu
hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadith maqbul secara
sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana tersebut di atas. Contohnya:[25]
حدّثناعبد
الله بن يوسف اخبر نا مالك عن نا فع عن عبد الله انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
قال: اذاكا نوا ثلا ثة فلا يتناجى اثنان دون الثّالث (رواه البخارى)
“Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf
telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila mereka
bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga.” (H.R
Bukhari).
Hadith di atas
diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf menerima dari Malik, Malik
menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah itulah
sahabat Nabi yang mendengar Nabi saw bersabda seperti tercantum di atas. Semua
nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai Abdullah (sahabat) adalah
rawi-rawi yang adil, dzabit, dan benar-benar bersambung. Tidak ada
cacat, baik pada sanad maupun matan. Dengan demikian hadith di atas termasuk
hadith s}ahih li dha>tihi.
2)
S}ahih li ghairihi, yaitu
hadith dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadith sahih karena diperkuat oleh
hadith-hadith lain sekiranya hadith yang memperkuat itu tidak ada, maka hadith
tersebut hanya berada pada tingkatan h}adi>th h}asan. H{adi>th
s}ahih li ghairihi hakekatnya adalah h{adi>th h}asan lidha>tih
(hadis hasan karena dirinya sendiri).
Dalam buku Alfatih
Suryadilaga h{adi>th s}ahih lighairih adalah yang sahihnya lantaran
dibantu oleh keterangan lain. Jadi, pada diri hadith itu belum mencapai
kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya
sehingga hadith tersebut meningkat menjadi s}ahih lighairih. [26]
Hadits dibawah ini
merupakan contoh h}adi>ts h}asan li dha>tihi yang naik derajatnya
menjadi hadits s}ahih li ghairihi:[27]
عن
ابى هريرة رضى الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: لولا ان اشقّ على
امّتى لا مر تهم بالسّواك عند كلّ صلاة (رواه البخارى و الترمذى)
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku,
niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada
setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (H.R Bukhari dan Turmudzi)
Salah seorang perawi
dari sanad hadith ini ada yang bernama Muhammad ibn Amr ibn ‘Alqamah, dia
termasuk orang kepercayaan, tetapi rawi-rawi yang lain pada sanad itu semuanya tsiqah.
Karenanya, kualitas hadith tersebut termasuk h}asan lidha>tih.
Kemudian, ada sanad lain yang memuat hadith tersebut. Alhasil, hadith tersebut
meningkat derajadnya menjadi h}adi>th s}ahih lighairih.[28]
A. Kesimpulan
1.
H{adi>th s}ahih adalah hadith
yang sanadnya bersambung sampai Nabi dan diriwayatkan oleh orang-orang yang ‘adil
dan d}abi>th
serta tidak terdapat dalam hadith itu kejanggalan (shadh)
dan cacat (‘illat).
2.
Hadith sahih itu harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
Pertama yakni Mutt}asil (Bersambung) Sanadnya.
Maksudnya, ialah sanad hadith itu bersambung sampai akhir atau disebut musnad.
Hadith shahih ini dalam sifatnya juga bisa disebut sebagai hadith yang muttasil
atau maushul (yang
bersambung). Kedua yakni Perawi yang ‘Adil,
yang dimaksud ‘adil adalah periwayat yang memenuhi syarat-syarat
berikut: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara
muru’ah (memelihara kehormatan dirinya).
Ketiga yakni Perawi yang D}abi>t,
yakni kecerdikan seorang perawi menerima hadith dan memeliharanya,sehingga
waktu menyampaikan ulang tanpa adanya kesalahan atau kerancuhan, baik dalam
bentuk hafalan maupun tulisan. Keempat yakni Perawi yang tidak Shadh/
Shudhudh. Kata Al Shudhudh secara etimologi merupakan bentuk jama’
dari kata dasar shadhdha-yasudhdhu-shudhdhan, yang berarti janggal atau
ganjil. Jadi seorang perwi dalam menyampaikan hadith tidak boleh
janggal/ganjil.
Dan yang kelima yakni Perawi tidak ‘Illal (Cacat). Secara etimologi
kata ‘illat berasal dari akar kata ‘alla-ya’illu-‘illat, dan
bentuk jamak al-‘illat, artinya penyakit ‘aib (cacat). Jadi seorang
perwi tidak boleh cacat (h{adi>thnya) dalam menyampaikan hadith.
3.
Klasifikasi H}adi>th S}ahih dibagi menjadi dua yakni yang pertama
S}ahih li D}ha>tihi yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau
sifat-sifat hadith maqbul secara sempurna yang memenuhi kelima syarat.
Dan yang kedua yakni S}ahih li Ghairihi. adalah yang sahihnya lantaran
dibantu oleh keterangan lain. Jadi, pada diri hadith itu belum mencapai
kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya
sehingga hadith tersebut meningkat menjadi s}ahih lighairih.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya. Semarang:
PT. Kumudasmoro Grafindo,1994.
Gazali,
Abu Hamid Al. Al-Mustasfa min ‘ilm al-Usul,vol.2. Bulaq: Maktaba’ah
al-Amiriah, 1322 H.
Hadi, Abu Azam Al. Studi Hadith.
Jember: Pena Salsabila, 2008.
Ismail,M.
Syuhudi. Kaidah
Kesahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah. Jakarta:
Bulan Bintang, 2005.
Manzur,Ibn. Lisan al-‘arab,Vol.13. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,1994.
Mudasir, Ilmu Hadith. Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Mudzakir,Muhammad A, Ulumul Hadith.
Bandung: Pustaka Setia,2000.
San’ani,Muhammad
Ibn Ismail Al. Tawdih al-Afkar,Vol.2.
Editor Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Madinah: al-Maktabah
al-Salafiyah.t.tp.
Suparta,Munzier. Ilmu Hadith.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suryadilaga,M.Alfatih,et.al. Ulumul
Hadis. Yogyakarta: Teras,2010.
Tazi,Mustafa
Amin Ibrahim Al. Maqasid al-Hadith fi al-Qadim wa al-Hadith. Mesir:
Maktabah Al-Khanaji, 1400 H/1981 M.
[1]
M.Alfatih Suryadilaga,et.al. Ulumul Hadis (Yogyakarta: Teras,2010), 244.
[2]
Abu Azam Al-Hadi, Studi H{adi>th (Jember: Pena Salsabila,2008), 137.
[3]
Ibid.
[4]
Munzier Suparta, Ilmu Hadith, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
129.
[5]
Al-Hadi, Studi H{adi>th, 138.
[6]
Ibid., 139.
[7]
Ibid.
[8]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab,Vol 13 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,1994),
456.
[9]
Al-Hadi, Studi H{adi>th, 140.
[10]
Ibid., 142-143.
[11]
Al-Hadi, Studi H{adi>th, 144.
[12]
Ibid., 144-145.
[13]
Al-Tazi’, Maqasid al-H{adi>th,
64.
[14]
Al-Hadi, Studi H{adi>th, 149.
[15]
Muhammad Ibn Isma’il al-San’ani, Tawdih al-Afkar,vol.2, Editor Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid(Madinah: Al-Maktabah al-Salafiyah,t.tp), 12.
[16]
Ibid.
[17]
Al-San’ani, Tawdih al-Afkar, 11.
[18]
Al-Hadi, Studi H{adi>th, 155.
[19]
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadith: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang,2005), 169-170.
[20]
Al-Hadi, Studi H{adi>th, 157-158.
[21]
Ismail, Kaidah
Kesahihan Sanad Hadis, 144.
[22]
Ibid., 145.
[23]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘ilm al-Usul,vol.2 (Bulaq:
Maktaba’ah al-Amiriah,1322 H), 229.
[24]
Hamzah ‘Abdullah al-Malyabari, al-H{adi>th
al-Ma’lul; Qawa’id wa Dawabit (Cet. I; Makkah al-Mukarramah:
al-Maktabah al-Makkiyyah, 1416 H / 1996 M), 10.
[25]
Muhammad A. & M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka
Setia,2000), 106.
[26]
M.Alfatih Suryadilaga,et.al. Ulumul Hadis (Yogyakarta: Teras,2010), 250.
[27]
Mudasir, Ilmu Hadith, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 149-150.
[28]
M.Alfatih Suryadilaga,et.al. Ulumul Hadis, 251.