BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah seperti yang telah
diamanatkan dalam pasal 18 UUD 1945, memperoleh formulasi yang semakin jelas
dengan keluarnya undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian diikuti dengan
undang-undang No. 25/1999 tentang perimbangan pemerintah pusat dan daerah. Meskipun undang-undang ini dinilai banyak
mengandung kelemahan, tetapi secara de jure telah memberikan arah yang
semakin jelas nagi otonomi daerah, dibanding janji kosong yang diutarakan oleh
orde baru. Otonomi daerah disini tidak lagi merupakan omong kosong yang
diutarakan oleh orde baru, tapi merukan sebuah tindakan. Dibeberapa daerah,
desakan untuk melaksanakan otonomi daerah itu sedikit memaksa, sehingga apabila
tidak dilaksanakan akan menggangu disitregasi bangsa. Kecenderungan seperti ini
memang terjadi pada daerah-daerah yang SDM nya tergolong maju. [1]
Penyelenggaraan manajemen pendidikan yang memenuhi prinsip akuntabilitas,
tampaknya masih melewati jalan panjang, dan berliku-liku. Walaupun tuntutan
akan manajemen pendidikan yang akuntabel terus disuarakan banyak pihak, belum
semua aparatus pendidikan menyambutnya. Ini sangat berkaitan dengan persoalan
kemauan, kemampuan, persepsi, dan kepercayaan. Karena itu makalah ini ditulis
untuk melanjutkan proses mengurai benang kusut yang hampir putus itu. Uraian
disandarkan pada pengertian akuntabilitas pendidikan, tujuan akuntabilitas
pendidikan, manfaat akuntabilitas pendidikan, pelaksana akuntabilitas
pendidikan, pelaksanaan akuntabilitas pendidikan, langkah-langkah akuntabilitas
pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pendidikan , dan
upaya peningkatan akuntabilitas pendidikan.
Nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang
di depan. Tetapi hanya dengan kemauan dan visi perubahan niscaya prinsip
akuntabilitas dapat membumi di sekolah.
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian otonomi dan akuntabilitas pendidikan?
2.
Apa tujuan dan manfaat otonomi dan akuntabilitas pendidikan?
3.
Bagaimana
pelaksanaan otonomi dan akuntabilitas pendidikan dunia
pendididkan?
4.
Bagaimana upaya peningkatan otonomi dan akuntabilitas pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian otonomi dan akuntabilitas
pendidikan.
2. Untuk tujuan dan manfaat otonomi dan akuntabilitas
pendidikan.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi dan akuntabilitas pendidikan dalam
dunia pendididkan.
4. Untuk mengetahui upaya penimgkatan otonomi dan
akuntabilitas pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
Otonomi atau autonomy berasal dari
bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti Hukum atau
aturan (Abdurrahman, 1987: 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis
memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai ‘perundangan
sendiri’ (Danuredjo, 1977), ‘perundangan sendiri’ (Koesoemahatmadja, 1979: 9),
‘mengatur atau rnemerintah sendiri’ (Runt Nugroho, 2000: 46). Koesoemahatmadja
(1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung
arti ‘perundangan’, juga mengandung pengertian `pemerintahan’. Secara konseptual
banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di
antaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat (Wayong
1979: 16)[2]
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena
kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan John Elliot merinci makna yang terkandung di dalam
akuntabilitas, yaitu : (1) cocok atau sesuai (fitting In) dengan peranan yang
di harapkan, (2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang
keputusan dan tindakan yang di ambilnya, (3) performan yang cocok dan dan
meminta pertimbangan/penjelasan kepada orang lain.
Akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator
keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. Dengan demikian, maka
akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja
dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan
bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan
akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada
publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.
Akuntabilitas dalam bidang pendidikan, seperti yang di katalkan oleh H.H.
Mc Ashaan, yaitu program dan manajemen personalia yang mengarah kepada tujuan, penekanan manajemen yang efektif dan efisien,
dan pengembangan program, pengembangan personalia, peningkatan hubungan dengan
masyarakat, dan kegiatan-kegiatan manajemen. [3]
B.
Tujuan/Manfaat Otonomi
dan Akuntabilitas Pendidikan
Otonomi
bertujuan untuk menciptakan kemandirian dalam mengatur dan mengurus diri sendiri, merdeka,
tidak sepenunhnya tergantung kepada yang lain (pemerintah pusat).
Kemandirian tersebut terdapat pada beberapa aspek diantaranya kemandirian dalam
penyususnan rencana dan program serta kemandirian dalam pendanaan yang akan
menjadi tolak ukur kemandirian pendidikan. Manfaat dari otonomi daerah:
1)
Otda membuka
peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan local
contexts (konteks local) dalam progam-progam pendidikan sehingga lebih
relevan dengan potensi dan kebuthan masyarakat local.
2)
Otda membuka
peluang bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengoptimalisasikan peran institusi pendidikan dalam menunujang
pembangunan daerah.
3)
Otda membuka
peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan ide dan
eksperiment baru dalam rangka mengembangkan kualitas pendidikan.
Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik
terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong
partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah.
Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet
menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya
akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah
yang baik dan terpercaya.
Penyelenggara
sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada publik.
Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan
kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan
dan untuk mempertanggung jawabkan
komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan
pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas
memberikan kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan, antara lain:
1) Tujuan/performan yang ingin dicapai
2) Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk
mencapai tujuan
3) Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan
tugas
4) Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai,
dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife
penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
5) Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
6) Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara
pasti.
C.
Pelaksanaan Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
1.
Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan
desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum
sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena
kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan
memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya
pendidikan serta pemerataannya.
Otonomi
pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan
yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena
sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani
kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa
menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat
dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam
menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :
·
Meningkatkan
Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut
Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi
proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses
belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami
pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk
jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut :
a) Peserta
didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning
task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya
hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas
internal);
b) Hasil
pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga
dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat
melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning),
c) Hasil
pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia
kerja.
Menghadapi
kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada
kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan
Alexander (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu
pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan
rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam
meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan
manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih
kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru,
fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen
harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua
infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain
itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan
mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan
untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota
masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan
program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama; salah satu
tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam
meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
·
Reformasi
Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu
dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut
pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk
kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan
pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan
Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang
syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung
pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila
dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah
yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
·
Kemauan
Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat
ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki
political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang
cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah
yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah
itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang
well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.
Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan
penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang
pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan
visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus
diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik.
Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis
dan membangun daerah.
·
Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap
daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang
dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk
turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam
kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih
banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam
turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
·
Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat
dan Daerah
Pemerintah Pusat tidak
diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya
diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti
aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi,
pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan
regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh
karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses
pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi
pendidikan belum jalan,yaitu :
1) Belum
jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan
kota.
2) Pengelolaan
sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk
dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak
memadai.
3) Dana
pendidikan dan APBD belum memadai.
4) Kurangnya
perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat
dalam pengelolaan pendidikan.
5) Otoritas
pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah
kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya
sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama.
6) kondisi
dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan
pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. [4]
Hal ini
mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah
perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan
memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
Made Pidarta (1988)
menyebutkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru,
administrator, orang tua siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.
Di dalam perencanaan participatory , yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi, akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut.
Di dalam perencanaan participatory , yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi, akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut.
1) Manajer/ administrator/ ketua lembaga, sesuai dengan fungsinya
sebagai manajer.
2) Ketua perencana, yang dianggap paling bertanggungjawab atas
keberhasilan perencanaan. Ketua perencana adalah dekan, rektor, kepala sekolah,
atau pimpinan unit kerja lainnya.
3) Para anggota perencana, mereka dituntut memiliki akuntabilitas
karena mereka bekerja mewujudkan konsep perencanaan dan mengendalikan
implementasinya di lapangan.
4) Konsultan, para ahli perencana yang menjadi konsultan.
5) Para pemberi data, harus memiliki performan yang kuat mengingat
tugasnya memberikan dan menginformasikan data yang selalu siap dan akurat
2.
Pelaksanaan Akuntabilitas Pendidikan
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah
mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang
ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan
manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan
kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan
masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah
semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan
merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda. [5]
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan
adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bagi lembaga-lembaga
pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan desain ulang
sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan
model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi.
Misalnya di Indonesia hari ini telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.
Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga
pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan,
yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang
dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut
berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya
yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga
terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai
mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin
mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan
akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara
pengelola sekolah dengan masyarakat, sekolah dan orang tua siswa, sekolah dan
instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal
menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah, antara kepala sekolah dengan
komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.
Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Hal ini
karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar
mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa.
Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar.
Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal
membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu
dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi
penting untuk diperhatikan. Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada
orang tua siswa.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga
menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan
dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun
peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan
yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan
masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan
dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral
individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik
akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu
mempertanggung jawabkan
mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggung jawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki
tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat
efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi eksternal.
Bagaimana sekolah mampu mempertanggung jawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan
tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di
Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak akuntabel.
Rita Headington berpendapat ada tiga dimensi yang terkandung dalam
akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan. Ketiganya menuntut tanggung
jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi
pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri, misalnya
akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki
tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses
pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait
dengan pendidikan. [6]
D.
Upaya
Peningkatan Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
1.
Upaya
Peningkatan Otonomi Pendidikan
Berdasarkan
PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom,
pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan
pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1) penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2) penetapan
standar materi pelajaran pokok;
3) penetapan
persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4) penctapan
pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5) penetapan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa;
6) penetapan
persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan,
penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan
penelitian arkeologi;
7) pemanfaatan
hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri
nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang diakui secara
internasional;
8) penetapan
kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan
dasar, menengah, dan luar sekolah;
9) pengaturan
dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan
sekolah internasional;
10) pembinaan
dan pengembangan bahasa clan sastra Indonesia.
Sementara
itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. penetapan
kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat minoritas,
terbelakang, dan/ atau tidak mampu;
2. penyediaan
bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar
sekolah;
3. mendukung/membantu
penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan
pengangkatan tenaga akademis;
4. pertimbangan
pembukaan clan penutupan perguruan tinggi;
5. penyelenggaraan
sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran guru;
6. penyelenggaraan
museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah clan
nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
2.
Upaya
Peningkatan Akuntabilitas Pendidikan
Menurut
Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk
peningkatan akuntabilitas:
1)
Sekolah
harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme
pertanggung jawaban.
2)
Sekolah
perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara
sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3)
Sekolah
menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/
stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4)
Menyusun
indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada
stakeholders.
5)
Melakukan
pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya
kepada publik/ stakeholders diakhir tahun.
6)
Memberikan
tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
7)
Menyediakan
informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan
pendidikan.
8)
Memperbaharui
rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan
sekolah untuk mewujudkannya. Jika sekolah mengetahui sumber dayanya, maka dapat
lebih mudah digerakkan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah
dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang
dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite
sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk
melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak
awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis
sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet
(2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:
1.
Meningkatnya
kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2.
Tumbuhnya
kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan
di sekolah, dan
3.
Meningkatnya
kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di
masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah
akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaimana yang
dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami
peningkatan dalam banyak hal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Dari pengertian diatas kita dapat menarik
sebuah kesimpulan bahwa “ penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengurus pemerintahan dalam daerah tersebut”. akuntabilitas adalah suatu keadaan
performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja
sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa
puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah
kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai
kinerja yang telah dilaksanakan.
Otonomi
bertujuan untuk menciptakan kemandirian dalam mengatur dan mengurus diri sendiri, merdeka,
tidak sepenunhnya tergantung kepada yang lain (pemerintah pusat), Tujuan
akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap
sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong
partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah.
Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat.
Pelaksanaan
desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum
sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena
kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan
memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya
pendidikan serta pemerataannya. Otonomi
pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan
yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena
sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani
kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa
menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Penerapan prinsip akuntabilitas
dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah
menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada
sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan
sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen
sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan.
Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan
akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.
Untuk mengetahui
upaya peningkatan otonomi pendidikan bisa dilakukan dengan penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya. Upaya
peningkatan akuntabilitas pendidikan yakni Sekolah harus menyusun aturan main
tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggung jawaban. Sekolah
perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara
sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas. Sekolah
menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/
stakeholders di awal setiap tahun anggaran. Menyusun indikator yang jelas
tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Melakukan
pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya
kepada publik/ stakeholders diakhir tahun. Memberikan tanggapan terhadap
pertanyaan dan pengaduan publik. Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada
publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan. Memperbaharui rencana kinerja
yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas, 2005, Pendidikan
Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKIS Group
Fatah, nanang , 2004, Konsep
manajemen berbasis sekolah dan dewan sekolah, Bandung: C.V. Pustaka Bani
Qurais.
http://raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/konsep-%E2%80%9Cotonomi-pendidikan%E2%80%9D-dan-%E2%80%9Cdesentralisasi-pendidikan%E2%80%9D/ (diakses 22 Maret 2012)
Pidarta, Made. 1988, Jenjang petugas
perencana pendidikan menurut akuntabilitas,
Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Pidarta, Made. 2006, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya
terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), ( Jakarta
: Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo
Persada.
Sirozi,M. 2005, Pendidikan Politik, Jakarta: PT.Raja
grafindo persada.
[2] Made, pinarta, Otonomi
Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan), ( Jakarta :
Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada. 2006), hlm. 204
[6] Made, pinarta, Jenjang petugas perencana pendidikan menurut akuntabilitas, (Jakarta : Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1988), hlm. 90
thanks, sangat membantu
BalasHapus