Selasa, 24 Mei 2011

METODOLOGI MEMAHAMI ISLAM (II)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kata Islam menurut istilah adalah agama yang sumbernya datang dari Allah SWT, dan bukan berasal dari manusia. Nabi Muhammad dalam ajaran agama Islam diakui sebagai orang yang ditugaskan oleh Allah untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam kepada umat manusia. Dalam proses ini Nabi sebagai pemberi keterangan, penjelasan, dan contoh yang nyata. Dalam keterlibatan menyebarkan ajaran agama Islam masih dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh Allah.
Dalam memahami Islam sebagai sebuah agama, setidaknya kita dituntut untuk mengetahui sejarah, seluk beluk maupun metodologi yang tersirat pada setiap ajarannya. Hal ini sangat dibutuhkan, agar nantinya tidak timbul salah pengertian terutama dalam menjalankan syari'at yang menjadi tuntunan sekaligus tuntutan bagi setiap kaum Muslim dalam beribadah.
Karena itulah, pada pembahasan kali ini, selain mengetengahkan berbagai kajian fiqih dan kaidah ushuliyah, juga akan dipaparkan tentang berbagai metodologi yang berkaitan dengan pemikiran modern dan pendidikan Islam, tekstualitas Hadits dan kontekstualitas Al-Qur'an, termasuk juga hakikat metodologi muqaranah mazahib yang melandasi eksistensi agama Islam itu sendiri.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka dalam kesempatan ini penyusun sangat tertarik untuk mengangkat tema makalah ini dengan judul: “Metodologi Memahami Islam (II)

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
  1. Bagaimana metodologi kajian fiqih dan kaidah ushuliyah yang terdapat dalam ajaran Islam?
  2. Apa yang dimaksud dengan metodologi kajian fiqih dan kaidah ushuliyah?
  3. Bagaimana pemahaman tekstualitas Hadits dan Kontekstualitas Al-Qur'an?
  4. Bagaimana pengertian tentang metodologi muqaranah mazahib?

C.    Tujuan Pembahasan
Dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dalam makalah ini, antara lain:
1.      Untuk mengetahui tentang metodologi kajian fiqih dan kaidah ushuliyah yang terdapat dalam ajaran Islam.
2.      Untuk mengetahui metodologi kajian fiqih dan kaidah ushuliyah.
3.      Untuk memahami tekstualitas Hadits dan Kontekstualitas Al-Qur'an.
4.      untuk menemukan pengertian tentang metodologi muqaranah mazahib.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Metodologi Kajian Fiqih dan Kaidah Ushuliyah
1.      Kajian Fiqih
a.      Pengertian Kaidah Fiqih
Di antara arti kaidah sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Warson Munawir, adalah al-asas (dasar, asas, dan pondasi), al-qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).[1] Mushthafa Ahmad al-Zarqa, dalam pengantar buku Syarh al-Qawai’id al-Fiqhiyyat karya bapaknya, al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa, menjelaskan bahwa arti kaidah secara bahasa adalah al-asas,[2] baik sebagai asas yang konkret (inderawi) maupun yang abstrak (ma’naawi).[3]
Ulama ushul berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah:[4]
حكم كلي على جميع جزئياته لتعرف احكامهامنه.
Peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan umum tersebut.”
Sedangkan ulama fiqih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah:[5]
حكم اغلبي اواكشر ي ينطبق على معظـم جزئيتـه لتعرف احكا مها مبها.
Aturan pada umumnya atau kebanyakan yang membawahi bagian-bagiannya untuk mengetahui hukum-hukum yang dicakupnya berdasarkan aturan umum tersebut.”
Dari pengertian di atas, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:[6]
1)     Kaidah adalah “ugeran” atau patokan umum yang dijadikan dasar untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum diketahui hukumnya.
2)     Kaidah bersifat aglabiyat, aktsariyat atau pada umumnya. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian (al-mustasnayat).
3)     Tujuan pembentukan kaidah fiqih adalah agar ulama, hakim (qadhi), dan mufti, memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau kasus-kasus di masyarakat.
b.      Kegunaan Kaidah Fiqih
Kegunaan kaidah fiqih menurut ‘Ali Ahmad al-Nadawi secara sederhana adalah sebagai pengikat (“ringkasan”) terhadap beberapa persoalan fiqih. Menguasai satu kaidah berarti telah menguasai sekian bab fiqih. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqih dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqih.
c.       Kedudukan Kaidah Fiqih
Kedudukan kaidah fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dengan dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.[7]
2.      Kaidah Ushuliyah
a.      Pengertian Kaidah Ushuliyah
Kaidah dalam bahasa Arab disebut Qa’idah sebagai mufrad (bentuk tunggal) dari Qawa’id (kaidah-kaidah), kini kata qa’idah telah menyatu dengan bahasa Indonesia dengan kata kaidah.
Sedangkan pengertian Ushuliyah diambil dari kata “ashal” yang diberi ya nisbah (ya’ yang berfungsi untuk mengbangsakan/ menjeniskan).[8]
Dalam arti terminologi Ashal mempunyai 5 pengertian, yaitu:
1)      Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh.
2)      Ashal berarti yang lebih kuat (Rajih).
3)      Ashal berarti hukum ashal (Mustashhab)
4)      Ashal berarti Maqis ’alaih (dalam bab Qiyas).
5)      Ashal berarti dalil.
Dengan demikian pengertian “Kaidah Ushuliyah” adalah suatu hukum diambil kuli yang dapat dijadikan standar hukum bagi juz'i yang diambil dari dasar kulli yakni al-Qur'an dan as-Sunnah”.[9]
b.      Pembagian Kaidah
Kitab ushul fiqh membagi kaidah dengan dua macam, yaitu kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah, kedua kaidah ini saling terkait.
1)      Kaidah ushuliyah atau yang disebut juga kaidah istinbathiyah atau bahkan disebut juga kaidah lughawiyah, arti dari kaidah Ushuliyah sendiri adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama ushul berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab. Setelah diadakan penelitian-penelitian yang bersumber dari kesusastraan Arab.
2)      Sedangkan kaidah Fiqhiyah, ia disebut juga kaidah Syar’iyah. Pembahasan kaidah fiqhiyah ini akan dibahas tersendiri dalam judul yang berbeda.[10]
c.       Metode Perolehan Kaidah Ushuliyah
Ulama Ushuliyah membagi metode perolehan kaidah ushuliyah dengan 3 bagian, yaitu metode mutakallimin dan metode ahnaf, dan metode campuran. Masing-masing punya ciri-ciri tersendiri.
1)      Metode Mutakallimin
Metode mutakallimin sering disebut sebagai metode Syafi’iyah. Metode ini banyak dikembangkan oleh golongan  mu’tazilah, asy’ariyah dan Imam Syafi’i sendiri. mereka menggunakan metode ini dengan cara memproduksi kaidah-kaidah serta mengeluarkan qonun-qonun ushuliyah dari penggalian lafal-lafal serta uslub-uslub bahasa Arab.
Kitab-kitab ushul yang banyak menggunakan metode mutakallimin adalah:
a)      Al-Mustashfa, karangan Imam al-Ghazali (w. 505 H).
b)      Al-Ahkam, karangan Abu Hasan al-Amidi (w. 613 H).
c)      Al-Minhaj, karanganp al-baidhawi (w. 685 H).
d)     Al-Mu’tamad, karangan Muhammad bin Ali al-Basri (Tokoh Mu’tazillah) .
e)      Al-Burhan, karangan Imam Haramain (w. 487 H).
f)        Al-Manshul, karangan Fakruddin ar-Razi.
2)      Metode Ahnaf
Metode ahnaf (hanafiyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanafiah dengan jalan mengadakan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat Imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.
Kitab-kitab yang menggunakan metode Hanafiah adalah sebagai berikut:
a)      Al-Fushul fil Ushul, karangan Abu Bakar al-Hashash.
b)      Taqwimul Adillah, karangan al-Qodli Abu Zaid ad-Dabusi.
3)      Metode Campuran
Yaitu metode penggabungan antara metode Mutakallimin dan metode hanafiah, yakni dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah ushuliyah dan mengemukakan dali-dalil atas kaidah-kaidah tersebut.
Kitab yang mengikuti metode campuran antara lain:
a)      Badiun Nidhom, karangan al-Badzawi.
b)      Al-Ahkam, karangan Mudhoffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi (w. 694 H).[11]
d.      Obyek Kaidah-Kaidah Ushuliyah
Penggunaan kaidah-kaidah ushuliyah hanya dipakai sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya. Misalnya penetapan hukum amar, nahi dan sebagainya serta penerimaan atau penggalian dalil-dalil dhanniyah seperti qiyas, istishab, istihsan dan sebagainya.[12]

B.     Metodologi Pemikiran Modern dan Pendidikan Islam
1.      Pemikiran Modern
Kata-kata “modern”, “modernitas”, “modernisasi”, dan “modernisme”, seperti kata lainnya yang berasal dari Barat, telah dipakai dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata modern diartikan sebagai yang terbaru, mutakhir. Selanjutnya kata modern erat pula kaitannya dengan modernisasi yang berarti pembaruan atau tajdid dalam bahasa Arabnya.
Dalam masyarakat Barat “modernisasi” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pikiran dan aliran itu muncul antara tahun 1650 sampai 1800 SM. Suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age of Reason atau Englightenment, yakni masa pemujaan akal.
Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pikiran, dan pendapat tentang masalah keislaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian yang diperbarui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau mengubah teks Al-Qur'an dan al-Hadits. Yang diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap Al-Qur'an dan al-Hadits.
Modernisme dan modernisasi dalam Islam tentunya timbul pada periode yang disebut modern dalam sejarah Islam. Menurut Harun Nasution, periode tersebut dimulai sejak tahun 1800 M sampai zaman sekarang ini. Setelah terjadi pendudukan Napoleon di Mesir tahun 1798 M menyadarkan pemuka-pemuka Islam bahwa umat Islam sudah terbelakang dan lemah. Sebelumnya mereka masih berkeyakinan bahwa kebudayaan umat Islam masih lebih tinggi dari kebudayaan Barat. Sekarang ternyata Barat yang lebih tinggi.[13]
2.      Pendidikan Islam
a.      Pengertian Pendidikan Islam
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya.[14]
Islam adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didikan yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Tujuan ini secara hirarkis bersifat ideal bahkan universal.[15]
Sedangkan istilah pendidikan Islam sendiri memang sangat kompleks, meskipun demikian paling tidak ada tiga pengertian sehubungan dengan istilah tersebut, yakni pendidikan (menurut) Islam, pendidikan (dalam) Islam, mengandung pengertian bahwa pendidikan yang didasarkan dan dikembangkan sesuai ajaran Islam. sedangkan pengertian pendidikan dalam Islam adalah proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Islam sepanjang sejarah kebudayaan dan peradabannya. Dan pengertian pendidikan agama Islam adalah proses dan upaya pembelajaran ajaran Islam kepada anak atau generasi muda agar mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran tersebut.[16]

b.      Hakikat Pendidikan Islam
Pada hakekatnya proses pendidikan Islam merupakan proses pelestarian dan penyempurnaan kultur Islam yang selalu berkembang dalam proses transformasi budaya yang berkesinambungan berdasarkan ajaran Islam yang bersifat universal.
Meskipun demikian, paling tidak ada tiga istilah pendidikan yang secara umum dikenal dalam khazanah kebudayaan Islam, yakni tarbiyah (pendidikan), ta’lim (pengajaran), dan ta’dib (pembudayaan). Tentu saja penggunaan istilah ini memiliki penekanan masing-masing secara umum perbedaan titik tekan ketiga istilah adalah sebagai berikut:[17]
1)      Tarbiyah, adalah pendidikan yang menitikberatkan pada masalah pendidikan. Pembentukan dan pengembangan kode etik (norma-norma etika akhlak).
2)      Ta’lim adalah pendidikan yang menitikberatkan pada masalah pengajaran. Penyampaian informasi, dan pengembangan ilmu.
3)      Ta’dib adalah pendidikan yang memandang bahwa proses pendidikan merupakan usaha yang mencoba membentuk keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi dirinya sebagai muslim yang harus melaksanakan kewajiban serta fungsionalisasi atas niat atau sistem sikap yang direalisasikan dalam kemampuan berbuat yang teratur (sistematik), terarah dan efektif.
c.       Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan dasar pendidikan Islam pada hakekatnya sama dan sesuai dengan diturunkannya agama Islam itu sendiri, yakni untuk membentuk manusia muttaqin. Sedangkan jika ditinjau dari tujuan operasional dari pendidikan Islam adalah:
1)      Membentuk manusia Muslim yang di samping dapat melaksanakan ibadah mahdhah juga dapat melaksanakan ibadah mu'amalah dalam kedudukannya sebagai orang perorang atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu.
2)      Membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah penciptanya.
3)      Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan terampil untuk memungkinkan memasuki teknostruktur masyarakatnya.
4)      Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu Islam lainnya).
d.      Proses dan Operasional Pendidikan Islam
Sedangkan pendidikan Islam di dalam keluarga mengambil bentuk penanaman nilai dan norma keislaman yang dilakukan oleh anggota keluarga terutama sekali orang tuanya.
Dan pendidikan Islam dalam sekolah merupakan upaya pembelajaran yang telah dilembagakan secara formal.
e.       Pendidikan islamdalam perkembangan sejarah kebudayaan Islam
Dilihat dari segi sejarah atau periodenya, pendidikan Islam mencakup:[18]
1)      Periode pembinaan Islam yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai Rasul, sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam.
2)      Periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad wafat sampai masa akhir Bani Umayyah yang diwarnai oleh perkembangannya ilmu-ilmu naqliyah.

f.       Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dengan masuknya orang-orang Barat yang membawa budaya dan peradaban modern pada masa menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia, terdapat dua sistem pendidikan, yakni pendidikan modern dan pendidikan tradisional. Sistem pendidikan modern dalam operasionalisasinya bercorak liberal dan sekuler serta dikelola oleh pemerintah kolonial. Sedangkan pendidikan tradisional dalam pola operasional bersifat pendidikan keagamaan semata-mata, tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat umat Islam.
Pada tahap awal ini pembinaan dan pengembangan sekolah-sekolah umum/modern tersebut diserahkan dan menjadi wewenang serta tanggung jawab Menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, sedangkan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah dan pesantren) serta pendidikan dan pengajaran agama di sekolah-sekolah umum diserahkan Menteri Agama.

C.    Tekstualitas dan Kontekstualitas
1.      Tekstualitas Hadits
Dalam kaitannya dengan Asbab al-Wurud, mayoritas ulama mengemukakan kaidah (artinya: yang menjadi pedoman dalam memahami teks adalah keumuman lafalnya, bukan sebab khususnya). Dengan berpijak pada kaidah ini, pandangan menyangkut Asbab al-Wurud dan pemahaman hadis seringkali hanya menekankan kepada peristiwanya dan mengabaikan waktu terjadinya serta pelaku kejadian tersebut.
Dengan menggunakan kaidah itu, maka teks yang 'am yang muncul atas sebab tertentu mencakup objek yang mempunyai sebab itu dan Iain-lain. Dan tidak boleh dipahami bahwa lafal 'am itu hanya dihadapkan kepada orang-orang tertentu saja. Ibn Taimiyah berkata bahwa para ulama walaupun berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran sesuatu sebab, apakah khusus bagi sebab itu, namun tak ada seorangpun yang menyatakan bahwasanya keumuman lafal Al-Qur'an dan al-sunnah khusus dengan orang-orang tertentu.
Hanya saja paling jauh dikatakan, bahwa keumuman lafal itu tertentu dengan orang-orang yang semacam itu lalu ia mencakup orang-orang yang menyerupainya, dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab yang tertentu jika merupakan perintah atau larangan, maka ia mencakup orang-orang itu dan selainnya, yang sama keadaannya/kedudukannya.
Lafal 'am dalam sebuah teks walaupun munculnya karena dilatarbelakangi oleh sebab khusus, ia mencakup seluruh individu yang bisa ditampung oleh teks itu, tidak tertentu/terbatas berlakunya hanya kepada individu yang menjadi sebab khusus lahirnya teks.[19]
2.      Kontekstualitas Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sumber rujukan paling pertama dan utama dalam ajaran Islam. Ia diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. untuk disampaikan kepada umat manusia. Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur, sudah tentu menunjukkan tingkat kearifan dan kebesaran Tuhan, sekaligus membuktikan bahwa pewahyuan total pada satu waktu adalah mustahil, karena bertentangan dengan fitrah manusia sebagai makhluk dla’if (lemah).[20]
Hikmah terbesar Al-Qur'an diturunkan dari waktu ke waktu, tema per tema, bagian per bagian, adalah di samping mempertimbangkan kemampuan manusia yang terbatas dalam menelaah dan mencerna kandungan ayat-Nya, juga dimaksudkan agar selaras dan sejalan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi umat manusia.
Al-Qur'an diturunkan lima belas abad yang lalu itu persis di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyah. Karena itu, misi suci wahyu ini adalah ingin memperbaiki moralitas masyarakatnya yang rusak itu dengan berdialog secara argumentatif (akliyah) dan bijak (hikmah), seraya mengajar umat yang tak “beradab” (jahiliyah) ini ke jalan yang berkeadaban (madaniyah).[21]
Al-Qur'an secara intrinsik (hakiki) ingin berdialog secara interaktif sambil menebarkan rahmatnya kepada masyarakat dalam berbagai dimensi dan corak sosialnya, baik di masa lampau, kini, maupun mendatang; baik sebagai orang Arab, Eropa, Amerika, Afrika maupun Asia. Bahkan umat Islam tidak hanya dituntut untuk memahami Al-Qur'an secara kontekstual (selaras dengan ruang dan waktu manusia), tetapi juga secara profetik (melintasi batas ruang dan waktunya sendiri). Oleh karena itu, untuk memahami Al-Qur'an, seseorang tidak hanya terpaku semata-mata pada teks ayat, tetapi juga konteks sosial di mana masyarakat berada.[22]
Penafsiran Al-Qur'an secara kontekstual sangat diperlukan untuk berdialog dengan orang-orang yang hidup di masa Nabi Muhammad SAW., tetapi juga untuk orang-orang yang hidup di masa sekarang, maupun untuk orang-orang yang hidup di masa-masa yang akan datang. Faktor yang diperlukan dalam menafsirkan Al-Qur'an secara kontekstual adalah asbabun nuzul suatu ayat. Asbabun nuzul itu sendiri ialah apa yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur'an diturunkan sebagai pemberi informasi (jawaban).
Adapun pengertian asbabun nuzul dapat dilihat dari dua segi, yaitu: pertama, peristiwa yang terjadi mendahului turunnya ayat. Ayat yang turun kemudian menjelaskan pandangan Al-Qur'an, atau Al-Qur'an mengomentari tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi tersebut. Kedua, peristiwa itu terjadi setelah turunnya satu ayat. Peristiwa itu telah mencakup pengertiannya, atau dijelaskan hukumnya oleh ayat-ayat yang telah turun.
Mempelajari ilmu sejarah, minimal dapat memberikan informasi tentang kondisi perkembangan suatu masyarakat. Al-Qur'an sebagai petunjuk dari Allah untuk kebahagiaan umat manusia tidak mengabaikan perkembangan masyarakat. Jadi, dengan mengetahui konteks kesejarahan suatu ayat, maka dengan mudah ayat itu bisa diterapkan pada setiap ruang dan waktu yang berbeda.

D.    Metodologi Muqaranah Mazahib
Muqaranah Mazahib terdiri dari beberapa unsur kata, yang secara etimologi kata “muqaranah” berasal dari kata “qarana” yang artinya membandingkan dan kata muqaranah sendiri, kata yang menunjukkan keadaan atau hal yang berarti membandingkan antara dua perkara atau lebih.
Adapun kata mazahib adalah jamak dari mazhab yang berarti aliran atau berarti juga paham yang dianut. Yang dimaksud di sini adalah mazhab-mazhab hukum dalam Islam.
Pengertian “mazhab” sendiri menurut bahasa, berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhidzahaba” yang berarti “pergi”. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua pengertian, yaitu:
1.      Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadits.
2.      Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih.
Menurut Ahmad Satori Ismail, para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.[23]
Jadi Muqaranah mazahib adalah ilmu yang mempelajari perbandingan antar berbagai mazhab baik dari segi persamaan maupun perbedaan yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.
Ketika memasuki abad kedua Hijriah adalah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.
Kelahiran-kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Diakui bahwa selama periode abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah merupakan periode gerakan pemikiran hukum secara besar-besaran dan meluas diberbagai kawasan. Para tokoh atau Imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menerapkan hukum.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami Nash al-Quran dan al-Hadits. Maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam Nash.[24]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian pada bab pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, bahwa tujuan pembentukan kaidah fiqih adalah agar ulama, hakim (qadhi), dan mufti, memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau kasus-kasus di masyarakat. sedangkan penggunaan kaidah-kaidah ushuliyah hanya dipakai sebagai jalan untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya.
Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pikiran, dan pendapat tentang masalah keislaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan masuknya orang-orang Barat yang membawa budaya dan peradaban modern pada masa menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia, terdapat dua sistem pendidikan, yakni pendidikan modern dan pendidikan tradisional. Sistem pendidikan modern dalam operasionalisasinya bercorak liberal dan sekuler serta dikelola oleh pemerintah kolonial.
Sementara itu dalam kaitannya dengan Asbab al-Wurud, mayoritas ulama mengemukakan kaidah (artinya: yang menjadi pedoman dalam memahami teks adalah keumuman lafalnya, bukan sebab khususnya). Dengan berpijak pada kaidah ini, maka hikmah terbesar Al-Qur'an diturunkan dari waktu ke waktu, tema per tema, bagian per bagian, adalah di samping mempertimbangkan kemampuan manusia yang terbatas dalam menelaah dan mencerna kandungan ayat-Nya, juga dimaksudkan agar selaras dan sejalan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi umat manusia.
Sedangkan yang dimaksud dengan metodologi muqaranah mazahib adalah ilmu yang mempelajari perbandingan antar berbagai mazhab baik dari segi persamaan maupun perbedaan yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan.
B.     Saran
Meskipun makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa makalah ini sangat jauh dari nilai kesempurnaan yang diharapkan para pembaca. Untuk itulah, dengan tetap menitikberatkan pada isi kesimpulan serta pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penyusun menyarankan agar dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya diharapkan untuk mencari literatur yang lebih luas dari makalah yang disajikan sekarang. Hal ini sangat dibutuhkan agar nantinya dapat dihasilkan sebuah konsep pembahasan yang lebih baik dan sesuai dengan apa yang diinginkan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Burnu, Muhammad Shidqi Ibn. 1983. Al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-Kuliyyat. Beirut: Mu’assanh al-Risalah.
Al-Zarqa, Mushthafa Ahmad. 1989. “Lamhat Tarikhiyyat ‘An al-Qawa’id al-fiqhiyyat al-Kulliyyat” dalam al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyat. Damaskus: Dar al-Qalam.
Asy’ari, H., dkk. 2005. Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqih: Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Munawir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. 5. Jakarta: Universitas Indonesia.
Natta, Abuddin. 2001. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Poerwodarminto, W.J.S. 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. II. Jakarta: Balai Pustaka.
Shihab, Umar. 2005. Kontekstual Al-Qur'an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur'an. Jakarta: Penamadani.
Usman, H. Muhlis. 1997.Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://fauki-ahmad.blogspot.com/2009/06/pengertian-muqaranah-mazahib-fil.html




[1] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm. 1224.
[2] Mushthafa Ahmad al-Zarqa, “Lamhat Tarikhiyyat ‘an al-Qawa’id al-fiqhiyyat al-Kulliyyat” dalam al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyat, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), hlm. 33.
[3] Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-Kuliyyat, (Beirut: Mu’assanh al-Risalah, 1983), hlm. 13.
[4] Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah, hlm. 13.
[5] Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah, hlm. 14.
[6] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih: Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 1.
[7] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih...... hlm. 29.
[8] H. Muhlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 3-5.
[9] H. Muhlis Usman, Kaidah-Kaidah...... hlm. 5-6.
[10] H. Muhlis Usman, Kaidah-Kaidah...... hlm. 6-8.
[11] H. Muhlis Usman, Kaidah-Kaidah...... hlm. 8-11.
[12] H. Muhlis Usman, Kaidah-Kaidah...... hlm. 13.
[13] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbgaai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), Cet. 5, hlm. 24-25.
[14]  W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet. II, hlm. 250.
[15] Abuddin Natta, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), hlm. 292.
[16] H. Asy’ari, dkk., Pengantar Studi Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2005), hlm. 180.
[17] H. Asy’ari, dkk., Pengantar Studi...... hlm. 182-183.
[18] Abuddin Natta, Metodologi Studi...... hlm. 293.
[20] Umar Shihab, Kontekstual Al-Qur'an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur'an (Jakarta: Penamadani, 2005), hal. 22..
[21] Umar Shihab, Kontekstual Al-Qur'an...... hal. 23.
[22] Umar Shihab, Kontekstual Al-Qur'an...... hal. 24.
[24] http://fauki-ahmad.blogspot.com/2009/06/pengertian-muqaranah-mazahib-fil.html

1 komentar: