Senin, 01 Agustus 2011

MUDHARABAH


A.    Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.[1]
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kelalaian atau kecurangan si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab.
Dalam referensi lain dijelaskan bahwa mudharabah merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi dana masyarakat dan untuk menyediakan fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan, bagi para pengusaha.[2]
Mudharabah adalah suatu transaksi pembiayaan yang melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak, yaitu:
1.      Pihak yang memiliki dan menyediakan modal guna membiayai proyek atau usaha yang memerlukan pembiayaan; pihak tersebut disebut shahib al-maal.
2.      Pihak pengusaha yang memerlukan modal dan menjalankan proyek atau usaha yang dibiayai dengan modal dari shahih al-maal; pihak tersebut disebut mudharib.[3]
Mudharabah disebut juga dengan istilah qirad.  Sedangkan investor atau pemilik modal disebut muqarid. Istilah mudharabah dipakai oleh Madzab hanafi, Hambali, dan Zaydi. Sedangkan istilah qirad dipakai oleh Madzab Maliki dan Syafi’i.[4]
Sayyid Sabiq, dalam bukunya Fikih Sunnah dijelaskan bahwa “Mudharabah berasal dari kata اضرب في الارض yaitu bepergian untuk urusan dagang.”[5]
Firman Allah Swt.
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

B.     Hukum Mudharabah
Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem mudharabah ini adalah:[6]
1.      Al-Qur’an
      Ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi mudharabah adalah,
َلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Yang menjadi argumen dari surah Al-Muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Mudharib sebagai enterpreneur adalah sebagian orang-orang yang melakukan (dharb) perjalanan untuk mencari karunia dari Allah SWT dari keuntungan investasinya.
Selain itu terdapat dalam surat Al-Jumu’ah; 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“ Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT. . . ‘
2.      Al-Hadits
      Hadits-hadits Rasul yang dapat dijadikan rujukan dasar akad transaksi mudharabah adalah:
روى ابن عباس رضي الله عنهما انه قال: كان سيدنا العباس بن عبد المطلب اذا دفع المال مضربة اشترط على صاحبه ان لايسلك به بحرا ولاينزل به واديا ولايشترى به دابة ذات كبد رطبة فان فعل ذلك ضمن فبلغ شرطة رسول الله صلى الله عليه وسلم فاجازه
 “Diriwayatkan oleh ibnu Abbas bahwasannya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana ke mitra usahanya secara Mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau mebeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikannyalah syarat-syarat tersebut kepada rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR. Thabrani)
عن صالح بن صهيب عن ابيه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث فيهن البيع الى اجل والمقارضة واخلاط البر بااشعير للبيت لاللبيع
Dari Shahih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
3.      Ijma’
       Imam Zailai dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwan (454),
       “Rasulullah saw. Telah berkhotbah di depan kaumnya seraya berkata: wahai para wali yatim, bergegaslah untuk menginvestasikan harta amanah yang ada di tanganmu, janganlah didiamkan sehingga termakan oleh zakat”.
4.      Qiyas/ analogi
            Berkata Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (4/839).
            “Mudharabah dapat dianalogikan dengan al-Musaqat (perkongsian antara pemilik dan pengelola tanah pertanian dengan imbalan hasil panen) karena kebutuhan manusia terhadapnya, dimana sebagian mereka memiliki dana tetapi tidak cukup mempunyai keahlian untuk mengolahnya manakala sebagian lain mempunyai keahlian yang tinggi dalam usaha tetapi tidak mempunyai dana yang cukup untuk menopangnya. Dengan demikian akan terpenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sesuai dengan kehendak Allah.”
Karena di antara manusia ada yang miskin ada yang kaya. Di satu sisi banyak orang kaya yang tidak bisa mengusahakan hartanya, di sisi lain tidak sedikit orang yang mau bekerja, tetapi tidak mempunyai modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam memenuhi kebutuhan mereka. [7]

C.    Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
1.      Mudarabah Muthlaqah
       Transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Contoh : “saya serahkan uang ini kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi di antara kita, masing-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain”.
2.      Mudharabah Muqayyadah
       Mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

D.    Syarat-syarat Mudharabah
1. Modal
-          Modal harus berupa uang, seperti dinar, dirham, atau sejenisnya.
-          Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran.
-          Modal harus milik sempurna pemilik modal.
-          Modal harus ada, bukan berupa utang, tetapi tidak berari harus ada di tempat akad.
-          Modal harus diberikan kepada pengusaha.
2. Aqidani
-          Pemilik modal dan pengusaha sebagai pihak yang mlakukan kerja sama, keduanya harus memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perjanjian yaitu, dewasa, sehat akal, bertindak dengan kesadaran dan pilihan sendiri, tanpa paksaan, sedangkan pengusaha dapat bekerja sesuai bidangnya.
3. Laba atau Keuntungan
-          Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti.
-          Kesepakatan ratio prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.[8]
1.      Mudharabah itu bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana (pekerja) untuk berdagang di negeri tertentu atau memperdagangkan barang tertentu, atau berdagang pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak. Karena persyaratan yang mengikat, seringkali dapat menyimpangkan tujuan akad, yaitu keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa itu mudharabah menjadi fasid. Demikian menurut mazhab Maliki dan syafi’i.[9]
2.      Mudharib/ pelaksana tidak boleh memudharabahkan harta mudharabah dan bila melakukan yang demikian, dianggap sebagai pelanggaran.
Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid (dikatakan): ”Para fuqaha Anshar yang termasyhur, tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika pelaksana menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib yang lain, maka ia wajib menjamin jika terjadi kerugian. Dan jika menguntungkan, maka ketentuan (pembagiannya) menurut persyaratan (pihak) pemilik harta. Kemudian bagi si pelaksana berkewajiban menyerahkan kepadanya (pada pemilik) bagian yang masih tertinggal, berupa harta.”[10]
Mudharib pada hakikatnya memegang 4 jabatan fungsionaris.
1.      Mudharib, yang melakukan dharb, perjalanan dan pengelolaan usaha, dan dharb ini merupakan saham penyertaan dari padanya.
2.      Wakil, manakala berusaha atas nama perkongsian yang dibiayai oleh shahib al-Maal. Hal ini akan tampak jelas sekali terutama dalam mudharabah al-Muqayyadah (Mudharabah terbatas).
3.      Syarik, Partner penyerta, karena dia berhak untuk menyertai shahib al-Maal dalam keuntungan usaha.
4.      Pemegang amanat, yaitu dana mudharabah dari shahib al-Maal, dimana ia dituntut untuk menjaganya dan mengusahakannya dalam investasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama, termasuk mengembalikannya manakala usaha sudah selesai.[11]

E.     Rukun Mudharabah
Rukun mudharabah adalah ijab dan Kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu, tetapi dapat dengan bentuk apa saja yang menunjukkan makna mudharabah. Karena yang dimaksudkan dalam akad ini adalah tujuan dan maknanya, bukan lafadz dan susunan kata.[12]

F.     Fasakhnya Mudharabah
            Mudharabah menjadi fasakh (batal) karena hal-hal berikut:
1.      Tidak terpenuhinya syarat sahnya.
      Jika ternyata satu syarat mudharabah tidak terpenuhi sedang pelaksana sudah memegang modal dan sudah diperdagangkan, maka dalam keadaan seperti ini dia berhak mendapatkan bagian dari sebagian upahnya, karena tindakannya adalah berdasarkan izin dari pemilik modal dan dia melakukan tugas yang ia berhak mendapatkan upah.
            Jika terdapat keuntungan, maka pemilik modal dan kerugian pun menjadi tanggung jawabnya. Karena si pelaksana tak lebih dari seorang bayaran (ajir) dan seorang bayaran tidak terkena kewajiban meenjamin, kecuali jika hal itu disengaja.
2.      Pelaksana bersengaja atau tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akal.
       Dalam keadaan seperti ini mudharabah menjadi batal dan ia berkewajiban menjamin modal jika rugi, karena dialah penyebab kerugian.
3.      Bahwa pelaksana meninggal dunia atau si pemilik modalnya. Jika salah seorang meninggal dunia mudharabah menjadi fasakh (batal).[13]

G.    Tindakan Setelah Matinya Pemilik Modal
Jika pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi fasakh. Dan jika telah fasakh maka bagi pelaksana tidak ada hak untuk menggunakan modal. Dan jika ia bertindak menggunakan modal setelah ia mengetahui bahwa si pemilik modal telah meninggal dunia dan tanpa izin ahli warisnya, maka perbuatan ini dianggap sebagai ghasab (merampas), dan dia wajib menjaminnya.
Kemudian jika modal itu menguntungkan, maka keuntungannya dibagi dua. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dengan cara inilah amirul mukminin Umar ibn al-Khattab menghukumkan kasus harta yang diambil oleh kedua putranya dari baitul mal, mereka memperdagangkannya sebelum terlebih dahulu meminta hak, maka kemudian Umar menjadikannya sebagai mudharabah.”
Dan jika mudharabah telah batal, sedangkan modal berbentuk barang dagangan, maka pemilik modal dan pelaksana menjual atau membaginya, karena yang demikian itu merupakan hak berdua. Dan jika si pelaksana setuju dengan penjualan, Sedangkan pemilik modal sedangkan pemilik modal todak setuju, pemilik dipaksa menjualnya, karena si pelaksana mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak dapat memperolehnya kecuali dengan menjualkannya. Demikian menurut mazhab Syafi’i dan Hambali.[14]

H.    Persyaratan Hadirnya Pemilik Modal Pada Waktu Pembagian
Ibnu Rusyd berkata: “Ulama dari berbagai tempat sepakat bahwa pelaksana tidak boleh mengambil keuntungan yang menjadi bagiannya tanpa dihadiri oleh pemilik modal. Dan bahwa kehadiran pemilik modal merupakan persyaratan dalam pemecahan harta (keuntungan) dan pengambilan si pelaksana akan haknya. Dan bahwa dalam hal ini tidak perlu dihadiri oleh saksi atau selainnya.”[15]

I.       Manfaat mudharabah
Islam mensyariatkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkan. Dan terkadang orang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu syari’at membolehkan muamalah, ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan harta. Demikian terciptalah kerja sama antara modal dan kerja. Dan Allah tidak menetapkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.[16]


DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Departemen Agama. 2000. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.

Muhammad. 2000. Sistem Dan Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Bandung: PT Al-Ma’arif.

Syafei, Rachmat. 2006. Fiqih Muammalah. Bandung: Pustaka Setia.

Syahdeini, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media.



[1] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 95.
[2]Sutan Remy syahdeini, 1999 Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999), h. 26.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT al-Ma’arif, 1987), 31.
[6] Muhammad,  Sistem Dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 14-16.
[7] Rachmat Syafei, fiqih mu’ammalah (bandung: pustaka setia, 2006), h. 226.
[8] Ibid.
[9] Sayyid, Fikih, 34.
[10] Ibid., 35
[11] Muhammad, system, 17-18.
[12] Sayyid, fikih, 33.
[13] Ibid., 36-37
[14] Ibid., 37-38
[15] Ibid
[16] Sayyid, Fikih, 32-33.

1 komentar:

  1. mengenai hadits tentang mudharabah (point no.2) hadis yang riwayat atthabrani. imam Al-HAitsami telah memberikan keterangan bahwa hadits tersebut adala Matruk (tidak dipakai)
    silahkan liat : blog saya : pendekataanislam.blogspot.com
    atau
    http://pendekatanislam.blogspot.com/2013/04/biografi-imam-al-haitsami-salah-satu.html

    BalasHapus