Sabtu, 02 November 2013

OTONOMI DAN AKUNTABILITAS PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
      Otonomi daerah seperti yang telah diamanatkan dalam pasal 18 UUD 1945, memperoleh formulasi yang semakin jelas dengan keluarnya undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian diikuti dengan undang-undang No. 25/1999 tentang perimbangan pemerintah pusat dan daerah.  Meskipun undang-undang ini dinilai banyak mengandung kelemahan, tetapi secara de jure telah memberikan arah yang semakin jelas nagi otonomi daerah, dibanding janji kosong yang diutarakan oleh orde baru. Otonomi daerah disini tidak lagi merupakan omong kosong yang diutarakan oleh orde baru, tapi merukan sebuah tindakan. Dibeberapa daerah, desakan untuk melaksanakan otonomi daerah itu sedikit memaksa, sehingga apabila tidak dilaksanakan akan menggangu disitregasi bangsa. Kecenderungan seperti ini memang terjadi pada daerah-daerah yang SDM nya tergolong maju. [1]
Penyelenggaraan manajemen pendidikan yang memenuhi prinsip akuntabilitas, tampaknya masih melewati jalan panjang, dan berliku-liku. Walaupun tuntutan akan manajemen pendidikan yang akuntabel terus disuarakan banyak pihak, belum semua aparatus pendidikan menyambutnya. Ini sangat berkaitan dengan persoalan kemauan, kemampuan, persepsi, dan kepercayaan. Karena itu makalah ini ditulis untuk melanjutkan proses mengurai benang kusut yang hampir putus itu. Uraian disandarkan pada pengertian akuntabilitas pendidikan, tujuan akuntabilitas pendidikan, manfaat akuntabilitas pendidikan, pelaksana akuntabilitas pendidikan, pelaksanaan akuntabilitas pendidikan, langkah-langkah akuntabilitas pendidikan, faktor-faktor yang mempengaruhi akuntabilitas pendidikan , dan upaya peningkatan akuntabilitas pendidikan.
Nilai dan kultur, serta matinya perasaan terdesak menjadi faktor penghadang di depan. Tetapi hanya dengan kemauan dan visi perubahan niscaya prinsip akuntabilitas dapat membumi di sekolah.

B.     Rumusan masalah
1.         Apa pengertian otonomi dan akuntabilitas pendidikan?
2.         Apa tujuan dan manfaat otonomi dan akuntabilitas pendidikan?
3.         Bagaimana pelaksanaan otonomi dan akuntabilitas pendidikan dunia pendididkan?
4.         Bagaimana upaya peningkatan otonomi dan akuntabilitas pendidikan?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian otonomi dan akuntabilitas pendidikan.
2.      Untuk tujuan dan manfaat otonomi dan akuntabilitas pendidikan.
3.      Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi dan akuntabilitas pendidikan dalam dunia pendididkan.
4.      Untuk mengetahui upaya penimgkatan otonomi dan akuntabilitas pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti Hukum atau aturan (Abdurrahman, 1987: 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai ‘perundangan sendiri’ (Danuredjo, 1977), ‘perundangan sendiri’ (Koesoemahatmadja, 1979: 9), ‘mengatur atau rnemerintah sendiri’ (Runt Nugroho, 2000: 46). Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti ‘perundangan’, juga mengandung pengertian `pemerintahan’. Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di antaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat (Wayong 1979: 16)[2]
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan John Elliot merinci makna yang terkandung di dalam akuntabilitas, yaitu : (1) cocok atau sesuai (fitting In) dengan peranan yang di harapkan, (2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang keputusan dan tindakan yang di ambilnya, (3) performan yang cocok dan dan meminta pertimbangan/penjelasan kepada orang lain.
Akuntabilitas membutuhkan aturan, ukuran atau kriteria, sebagai indikator keberhasilan suatu pekerjaan atau perencanaan. Dengan demikian, maka akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.
Akuntabilitas dalam bidang pendidikan, seperti yang di katalkan oleh H.H. Mc Ashaan, yaitu program dan manajemen personalia yang mengarah kepada tujuan,  penekanan manajemen yang efektif dan efisien, dan pengembangan program, pengembangan personalia, peningkatan hubungan dengan masyarakat, dan kegiatan-kegiatan manajemen. [3]

B.       Tujuan/Manfaat Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
Otonomi bertujuan untuk menciptakan kemandirian dalam mengatur dan mengurus diri sendiri, merdeka, tidak sepenunhnya tergantung kepada yang lain (pemerintah pusat). Kemandirian tersebut terdapat pada beberapa aspek diantaranya kemandirian dalam penyususnan rencana dan program serta kemandirian dalam pendanaan yang akan menjadi tolak ukur kemandirian pendidikan. Manfaat dari otonomi daerah:
1)      Otda membuka peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan local contexts (konteks local) dalam progam-progam pendidikan sehingga lebih relevan dengan potensi dan kebuthan masyarakat local.
2)      Otda membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengoptimalisasikan  peran institusi pendidikan dalam menunujang pembangunan daerah.
3)      Otda membuka peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan ide dan eksperiment baru dalam rangka mengembangkan kualitas pendidikan.
Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat. Slamet menyatakan: Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai salah satu syarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya.
Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan hasil kerja kepada publik.
Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggung jawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan, antara lain:
1)      Tujuan/performan yang ingin dicapai
2)      Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
3)      Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
4)      Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
5)      Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
6)      Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti.

C.    Pelaksanaan Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
1.      Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Otonomi  pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil  harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :
·         Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan  disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut :
a)      Peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal);
b)      Hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning),
c)      Hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian Simmons dan Alexander  (1980) bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan  secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
·         Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan   diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
·           Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
  Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala   pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.
·          Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
 Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
·          Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
 Pemerintah Pusat   tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.




Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan,yaitu :
1)      Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota.
2)      Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai.
3)      Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4)      Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
5)      Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama.
6)      kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. [4]
Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
Made Pidarta (1988) menyebutkan bahwa pelaksanaan akuntabilitas ditekankan pada guru, administrator, orang tua siswa, masyarakat serta orang-orang luar lainnya.
Di dalam perencanaan participatory , yaitu perencanaan yang menekankan sifat lokal atau desentralisasi, akuntabilitas ditujukan pada sejumlah personil sebagai berikut.
1)      Manajer/ administrator/ ketua lembaga, sesuai dengan fungsinya sebagai manajer.
2)      Ketua perencana, yang dianggap paling bertanggungjawab atas keberhasilan perencanaan. Ketua perencana adalah dekan, rektor, kepala sekolah, atau pimpinan unit kerja lainnya.
3)      Para anggota perencana, mereka dituntut memiliki akuntabilitas karena mereka bekerja mewujudkan konsep perencanaan dan mengendalikan implementasinya di lapangan.
4)      Konsultan, para ahli perencana yang menjadi konsultan.
5)      Para pemberi data, harus memiliki performan yang kuat mengingat tugasnya memberikan dan menginformasikan data yang selalu siap dan akurat
2.      Pelaksanaan Akuntabilitas Pendidikan
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda. [5]
Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bagi lembaga-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan desain ulang sistem yang mampu menjawab tuntutan masyarakat. Caranya adalah mengembangkan model manajemen pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. Misalnya di Indonesia hari ini telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat.
Akuntabilitas tidak datang dengan sendiri setelah lembaga-lembaga pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang memiliki kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi dan akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dianggap telah memenuhi semua persyaratan dan memiliki kompetensi yang dituntut berhak mendapat sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dinilai mampu menjamin produk yang bermutu disebut sebagai lembaga terakreditasi (accredited). Lembaga pendidikan yang terakreditasi dan dinilai mampu untuk menghasilkan lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga dan menjamin mutuya sehingga dihargai oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan yang akuntabel.
Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah dengan masyarakat, sekolah dan orang tua siswa, sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah, antara kepala sekolah dengan komite, dan antara kepala sekolah dengan guru.
Komponen pertama yang harus melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Hal ini karena inti dari seluruh pelaksanaan manajemen sekolah adalah proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab adalah siswa. Guru harus dapat melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. Akuntabilitas dalam pengajaran dilihat dari tanggung jawab guru dalam hal membuat persiapan, melaksanakan pengajaran, dan mengevaluasi siswa. Selain itu dalam hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan dengan siswa menjadi penting untuk diperhatikan. Tanggung jawab guru selain kepada siswa juga kepada orang tua siswa.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, tetapi juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas output. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, maupun peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan oleh pengelola. Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari warga sekolah dan masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dipercaya.
Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem tetapi juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan menjamin pengelolaan keuangan yang bersih, dan jauh dari praktek korupsi.
Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, ketika sekolah mampu mempertanggung jawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang mampu mempertanggung jawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiensi eksternal.
Bagaimana sekolah mampu mempertanggung jawabkan kewenangan yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yang lemah dan tidak akuntabel.
Rita Headington berpendapat ada tiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan. Ketiganya menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri, misalnya akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan pendidikan. [6]

D.    Upaya Peningkatan Otonomi dan Akuntabilitas Pendidikan
1.      Upaya Peningkatan Otonomi Pendidikan
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)      penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2)      penetapan standar materi pelajaran pokok;
3)      penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4)      penctapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5)      penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa;
6)      penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi;
7)      pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang diakui secara internasional;
8)      penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah;
9)      pengaturan dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional;
10)  pembinaan dan pengembangan bahasa clan sastra Indonesia.

Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa clan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/ atau tidak mampu;
2.      penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah;
3.      mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis;
4.      pertimbangan pembukaan clan penutupan perguruan tinggi;
5.      penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran guru;
6.      penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah clan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
2.      Upaya Peningkatan Akuntabilitas Pendidikan
Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah untuk peningkatan akuntabilitas:
1)      Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggung jawaban.
2)      Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas.
3)      Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/ stakeholders di awal setiap tahun anggaran.
4)      Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders.
5)      Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/ stakeholders diakhir tahun.
6)      Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik.
7)      Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan.
8)      Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.
Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Jika sekolah mengetahui sumber dayanya, maka dapat lebih mudah digerakkan untuk mewujudkan dan meningkatkan akuntabilitas. Sekolah dapat melibatkan stakeholders untuk menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya.  Dengan begitu stakeholders sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, dapat dilihat pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah:
1.      Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2.      Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
3.      Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaimana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.




BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
        Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Dari pengertian diatas kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa “ penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengurus pemerintahan dalam daerah tersebut”. akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan dapat memberikan hasil kerja sesuai dengan criteria yang telah di tentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan. Sedangkan akuntabilitas pendidikan adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang telah dilaksanakan.
Otonomi bertujuan untuk menciptakan kemandirian dalam mengatur dan mengurus diri sendiri, merdeka, tidak sepenunhnya tergantung kepada yang lain (pemerintah pusat), Tujuan akuntabilitas pendidikan adalah agar terciptanya kepercayaan publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi pula terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dianggap sebagai agen bahkan sumber perubahan masyarakat.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Otonomi  pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil  harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan otonomi pendidikan yang ditandai dengan pemberian kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan manajemen sesuai dengan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas dalam pengelolaan merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda.
Untuk mengetahui upaya peningkatan otonomi pendidikan bisa dilakukan dengan penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya. Upaya peningkatan akuntabilitas pendidikan yakni Sekolah harus menyusun aturan main tentang sistem akuntabilitas termasuk mekanisme pertanggung jawaban. Sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas. Sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/ stakeholders di awal setiap tahun anggaran. Menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/ stakeholders diakhir tahun. Memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik. Menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik yang akan memperoleh pelayanan pendidikan. Memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai kesepakatan komitmen baru.








DAFTAR PUSTAKA


Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKIS Group
Fatah, nanang , 2004, Konsep manajemen berbasis sekolah dan dewan sekolah, Bandung: C.V. Pustaka Bani Qurais.
Pidarta, Made. 1988, Jenjang petugas perencana pendidikan menurut akuntabilitas, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Pidarta, Made. 2006, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), ( Jakarta : Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada.
Sirozi,M. 2005, Pendidikan Politik, Jakarta: PT.Raja grafindo persada.


[1] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, ( Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 159
[2] Made, pinarta, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), ( Jakarta : Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada. 2006), hlm. 204

[3] H. Anang Fatah,  Konsep manajemen berbasis sekolah dan dewan sekolah, hal. 92-102
[4] M. Sirozi, Politik Pendidikan, ( Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 2005), hlm. 234-236
[6] Made, pinarta, Jenjang petugas perencana pendidikan menurut akuntabilitas, (Jakarta : Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1988), hlm. 90

1 komentar: